Ketika Liga Premier Inggris musim 2015/2016 mulai bergulir Agustus kemarin, hampir dipastikan tak ada satu orang pun yang berani memprediksi Leicester City bakal menjuarai kompetisi. Bahkan fans The Foxes-julukan Leicester-sekalipun mungkin tak pernah membayangkan klub kesayangannya bisa bersaing melawan dominasi klub-klub mapan seperti MU, Chelsea, Manchester City, atau Arsenal. Wajar saja. Sebab jika ditilik dari segi apapun, tim yang bermarkas di King Power Stadium tersebut kalah segala-galanya. Namun siapa sangka, sampai pekan ke-34 liga bergulir, Leicester berhasil mengangkangi klub-klub mapan di atas. Empat pertandingan tersisa dan mereka masih memimpin klasemen dengan selisih lima poin dari peringkat kedua, Tottenham Hotspur.
Kembali ke belakang, Leicester baru kembali ke kasta tertinggi sepak bola Inggris musim 2014/2015 setelah menghabiskan satu dekade berkutat di Divisi Championship (kompetisi kedua tertinggi setelah Liga Premier). Musim 2013/2014 mereka berhasil menjuarai kompetisi kelas dua tersebut sehingga berhak promosi ke Liga Premier. Tapi di musim perdana setelah promosi, Leicester hampir terdegradasi kembali ke Divisi Championship. Beruntung mereka berhasil finish di peringkat ke-14 di akhir musim. Meski begitu pihak manajemen akhirnya memecat Nigel Pearson di akhir musim. Pelatih asal Italia, Claudio Ranieri didatangkan untuk menahkodai klub. Lalu dongeng indah itu pun dimulai.
Leicester melakoni partai perdana dengan menggebuk Sunderland 4-2. Lima pekan berikutnya mereka tampil konsisten dengan memetik dua kemenangan dan tiga hasil imbang. Kekalahan baru mereka alami di pekan ke-7, menyerah 2-5 dari Arsenal. Tapi di 12 pertandingan berikutnya setelah itu mereka bangkit. Memetik delapan kemenangan, tiga hasil imbang, dan hanya sekali takluk. Juara bertahan Chelsea mereka hajar 2-1, Everton dipecundangi 2-3 di markas mereka yang terkenal angker, Swansea dan Newcastle sama-sama dicukur 0-3, juga di markas masing-masing. Sementara peraih titel EPL terbanyak, MU, mereka tahan 1-1. Paruh pertama kompetisi berhasil mereka tutup dengan hasil di luar dugaan, 11 kemenangan, 6 imbang, dan sepasang kekalahan.
Paruh kedua kompetisi lebih fenomenal lagi. Dari 15 laga yang sudah dilakoni, mereka meraih 10 kemenangan, 4 kali imbang, dan hanya sekali kalah dari Arsenal. Klub-klub kuat seperti Tottenham, Liverpool, dan Manchester City mereka kalahkan. Hingga pekan ke-34, Jamie Vardy cs berhasil memuncaki klasemen dengan 73 poin.
Kolektivitas, Itu Kuncinya
Jika melihat skuad Leicester, rasanya sukar dipercaya mereka bisa sampai sejauh ini. Hampir tak ada pemain bintang di sana. Semuanya pemain kelas dua. Tapi lihat sekarang. Mereka adalah contoh nyata sebuah anomali. Ketika klub-klub kaya raya berlomba menumpuk para pemain terbaik untuk meraih titel, mereka hanya mengandalkan kolektivitas tim dan daya juang.
Mungkin dua atau tiga tahun yang lalu tak ada yang mengenal sosok Jamie Vardy, Riyad Mahrez, atau N'Golo Kante. Dibanding bintang sekelas Aguero, Rooney, Eden Hazard, atau Alexis Sanchez, para pemain Leicester jelas bukan siapa-siapa. Namun justru itu yang menjadi kunci keberhasilan mereka. Tak ada pemain bintang. Semua punya peluang sama untuk berkontribusi bagi tim. Ini menjadi keuntungan tersendiri. Tak ada konflik antar pemain.
Bandingkan situasi tersebut dengan konflik yang dialami juara bertahan Chelsea. Diego Costa berkali-kali terlibat konflik dengan rekan setimnya sendiri. Di MU, bintang andalan Memphis Depay berulah dengan kehidupan glamornya. Jelas hal-hal seperti ini mempengaruhi performa di atas lapangan.
Faktor Ranieri
Selama berkiprah bersama Chelsea, Fiorentina, Juventus, Valencia, Atletico, Roma, Napoli sampai Inter Milan, belum pernah sekalipun Ranieri meraih titel juara liga. The Tinkerman hanya pernah menjuarai Coppa Italia tahun 1996 bersama Fiorentina dan Copa Del Rey Spanyol ketika menangani Valencia.
Pengalamannya yang panjang bersama klub-klub tersebut jelas sangat berperan bagi klubnya saat ini. Di usianya yang sudah memasuki angka 64, mungkin ini peluang terbaiknya untuk menjuarai liga. Musim mendatang pasti bakal lebih sulit karena tim-tim kaya akan berusaha habis-habisan menebus kegagalan musim ini.
Jika Ranieri bisa membuat Leicester terus memimpin liga sampai akhir musim, maka dia akan mengikuti Brian Clough yang berhasil membawa Nottingham Forrest juara tahun 1978 dan Kenny Dalglish tatkala secara mengejutkan memimpin Blackburn Rovers merebut trofi tahun 1995. Seandainya pun nanti Leicester gagal megakhiri musim dengan menjadi juara, paling tidak mereka sudah mengunci satu tiket untuk lolos ke Liga Champion Eropa musim depan.
"Bayangkan ketika Messi, Ronaldo, Iniesta, dan pemain-pemain terbaik dunia memasuki King Power Stadium. Sesuatu yang sangat menakjubkan bagi fans kami," kata Ranieri.
Ya, itu adalah dongeng yang sangat indah bagi para fans Leicester City. Juga bagi para penikmat sepak bola di seluruh dunia. Bahwa uang tidak selalu bisa membeli segalanya. Bahwa orang-orang biasa bisa tampil menjadi pahlawan. Dongeng yang segera menjadi kenyataan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar