Sabtu, 04 Juni 2016

Ali vs Tyson, What If?

Ilustrasi

Selama bertahun-tahun terjadi perdebatan di dunia tinju tentang siapa yang lebih baik seandainya Muhammad Ali dan Mike Tyson bertarung di atas ring ketika masih sama-sama berada di puncak karir. Sayangnya hal tersebut hanya angan-angan dan takkan pernah terjadi. Ali dan Tyson merajai dunia tinju kelas berat di era yang berbeda. Ali lahir pada tahun 1942, sementara Tyson 1966. Tapi tak ada salahnya berandai-andai membayangkan kedua petinju bertemu di atas ring ketika masih sama-sama menjadi juara dunia. Saya akan coba mengulasnya dari data-data yang berhasil saya kumpulkan.

Pertama, dari fisik. Tinggi Ali yang mencapai 191 cm jelas lebih unggul dibanding Tyson yang hanya 178 cm. Jangkauan si Mulut Besar-julukan Ali-juga lebih panjang, mencapai 198 cm. Sedangkan Iron Mike hanya 180 cm. Apakah ini menguntungkan Ali? Bisa iya, bisa juga tidak. Sepanjang karirnya, Mike Tyson beberapa kali menghadapi petinju yang jauh lebih tinggi dan besar darinya. Di antaranya Trevor Berbick (188 cm), Frank Bruno (191 cm), Tyrell Biggs (196 cm), Larry Holmes (191 cm), dan Michael Spinks (188 cm). Kelima petinju tersebut berakhir sama di tangan Tyson, semuanya kalah KO.

Tapi tunggu dulu. Muhammad Ali adalah petinju jenius. Ia tidak akan membiarkan si Leher Beton memukulnya begitu saja. Ali akan bermain cerdas. Ia akan berlari-lari, menghindari pukulan Tyson lalu sesekali melemparkan pukulan jab-nya dengan mengambil keuntungan dari jangkauannya yang lebih panjang. Dengan begitu ia akan menguras tenaga Tyson hingga membuatnya frustrasi. Perlu dicatat, dua kekalahan Tyson di masa jayanya terjadi di ronde-ronde akhir. Masing-masing dari James Douglas (ronde 10) dan Evander Holyfield (ronde 11). Sementara Ali adalah petinju yang terkenal pandai memainkan tempo. Ia bisa saja berlarian sepanjang ronde, lalu tiba-tiba meng-KO lawannya di ronde-ronde akhir setelah tenaga lawannya terkuras. Beberapa petinju besar yang menjadi korban Ali antara lain: Floyd Patterson (KO ronde 12), George Foreman (ronde 8), Joe Frazier (ronde 13), Oscar Bonavena (ronde 15), dan Chuck Wepner (ronde 15). Jadi, menurut analisa saya peluang keduanya 55-45 untuk Ali.

Kedua, tehnik bertinju. Ali dikenal dengan kecepatannya. Ia mendapat julukan "float like a butterfly, sting like a bee", menari seperti kupu-kupu, menyengat seperti lebah. Gerakan kakinya sangat lincah. Pukulannya begitu cepat dan tajam. Di puncak karirnya (1964-1967), Ali petinju yang sangat menghibur. Ia pernah berkata kalau ia bukan hanya tahu akan memenangkan pertandingan, namun ia sendiri yang menentukan di ronde keberapa akan menjatuhkan lawannya. Sementara Mike Tyson dikenal dengan pukulannya yang sangat keras. ESPN.com bahkan menobatkannya sebagai petinju dengan pukulan paling keras yang pernah ada. Itu dibuktikan dengan catatan impresifnya di atas ring. Dari 37 pertandingannya sebelum kalah oleh James Douglas, hampir semua lawan ia kalahkan dengan KO. Hanya empat petinju yang "selamat" dari pukulan super kerasnya. Di bagian ini Tyson unggul 60-40 dari Ali.

Berikutnya dilihat dari lawan-lawan yang dihadapi. Muhammad Ali mengalahkan semua juara dunia/petinju terbaik di eranya. Sonny Liston ia kalahkan dua kali. Joe Frazier (2), George Foreman (1), Ken Norton (2), Leon Spinks (1), Floyd Patterson (2). Sedangkan Tyson hanya berhasil mengalahkan Trevor Berbick, Frank Bruno, Michael Spinks, dan Bruce Sheldon. Dari keempat juara dunia tersebut, boleh dibilang hanya Michael Spinks yang punya rekor paling bagus sebelum bertemu Tyson. Tiga nama lainnya sudah lebih dulu mencium kekalahan minimal tiga kali. Ini bisa jadi juga ketika itu hampir tak ada petinju yang berani melawan si Leher Beton. Nama-nama seperti Holyfield, Riddick Bowe, Lennox Lewis baru muncul di pertengahan dekade 90-an. Namun tetap saja, lawan-lawan yang dihadapi Ali jauh lebih berkualitas dibanding lawan-lawan Tyson. Ali kembali unggul 2-1.

Keempat, rekor pertandingan. Sebelum kalah pertama kali pada tahun 1971 oleh Joe Frazier, Ali bertanding sebanyak 31 kali dengan 25 kemanangan KO. Sementara Tyson sebelum kalah pertama kali oleh James Douglas pada tahun 1990, ia bertanding sebanyak 37 kali dengan 33 di antaranya adalah kemenangan KO. Ketika pertama kali kalah, usia Ali 29 tahun, Tyson 24 tahun. Namun, patut dicatat, antara tahun 1967-1971, Muhammad Ali dilarang bertinju karena menolak terlibat dalam perang Vietnam. Ketika itu Ali sedang berada di puncak karir. Dan itu adalah empat tahun yang sangat berharga baginya. Bukan tidak mungkin seandainya ia tak mendapat skorsing, rekornya jauh lebih baik. Bisa dibilang di bagian ini keduanya imbang.

Lalu, jika keduanya memang bertemu, siapa yang akan memenangkan pertarungan? Data-data di atas pada akhirnya tetap tidak menjamin siapa yang lebih baik. Tinju bukanlah matematika di mana 1+1 sudah pasti 2. Ketika Ali merebut gelar juara dunia dari tangan Sonny Liston tahun 1964, tak ada yang menyangka itu bakal terjadi. Oleh para pengamat tinju, partai itu disebut sebagai "the biggest upset of the decade". Pada waktu Mike Tyson takluk dari James Douglas juga mungkin tak ada seorang pun yang bertaruh untuk kemenangan Douglas. Meski pertandingan itu sendiri sangat kontroversial.


Ali, Sugar Ray Leonard, dan Tyson di acara talkshow tahun 1989.

Ada salah satu cerita menarik dari mereka berdua ketika diundang di acara talkshow Arsenio Hall tahun 1989.
Sang pembawa acara bertanya kepada Ali, "Jika pria ini (maksudnya Tyson) menjadi lawan Anda, siapa yang akan menang?"
Ali yang ketika itu sudah menderita Parkinson dan kesulitan berbicara, menunjuk ke arah Tyson. Dengan bersusah payah ia menjawab, "Mungkin aku punya kecepatan. Tapi jika pria ini (ia menunjuk Tyson lagi) memukulku, aku akan langsung seperti ini (memperagakan terjungkal ke belakang dengan menyandar ke sofa)."
Tapi apa jawaban Tyson?
"Jika kita berbicara tentang dia, dengan menundukkan kepala, dengan lidah tulus, kita harus mengakui kalau dia adalah yang terbaik sepanjang masa (di dunia tinju)."

Dan memang, seandainya Muhammad Ali dikalahkan oleh Mike Tyson di atas ring, Ali tetap akan dikenang sebagai petinju terbaik yang pernah ada.



* untuk Muhammad Ali (17 Januari 1942-3 Juni 2016)

Sabtu, 28 Mei 2016

Revenge of The Rojiblancos

Akankah Antoine Griezmann (kiri) membalas kekalahan di final tahun 2014?
Duel bertajuk "Pembalasan Dendam" akan tersaji di final Liga Champion Eropa musim 2015/2016. Dua tim asal ibukota Spanyol, Real Madrid dan Atletico Madrid akan bentrok di Stadion San Siro, Milan, Minggu (29/5) dini hari WIB. Ya, final kali ini adalah ulangan final dua tahun silam kala Real Madrid mempecundangi rival sekotanya dengan skor 4-1 lewat perpanjangan waktu. Kala itu Los Rojiblancos-julukan Atletico-sempat unggul terlebih dahulu lewat Diego Godin menit ke-36. Namun, gol Sergio Ramos di masa injury time memaksa laga berlanjut di babak perpanjangan waktu. Real Madrid menggila dengan menceploskan tiga gol tambahan. Masing-masing melalui Gareth Bale (menit ke-110), Marcelo (118), dan mega bintang mereka, Cristiano Ronaldo (120).

Kekalahan yang sangat menyakitkan. Inilah yang menjadi motivasi terkuat anak-anak asuh Diego Simeone untuk membalasnya. Namun, bukan pekerjaan mudah, pastinya. Di kubu lawan, Ronaldo cs siap mengeluarkan kemampuan terbaik mereka untuk merengkuh gelar ke-11 di ajang paling elite di benua biru tersebut. Zinedine Zidane sudah mempersiapkan armada terbaiknya untuk menghadapi laga ini.

"Laga yang sangat sulit, tentu saja. Kami tahu itu dan kami sudah mempersiapkan diri selama dua minggu. Sekarang para pemain sudah siap untuk bertanding," ujar pelatih yang baru mengarsiteki Real Madrid Januari lalu.

"Kalah bukan berarti kegagalan. Itu tergantung cara kita menyikapinya. Kecuali jika Anda memang tidak berusaha memberikan yang terbaik," tambah pria asal Perancis yang pernah membawa Madrid menjuarai Liga Cahmpion tahun 2002 ketika masih berstatus sebagai pemain.

Sementara pelatih Atletico, Diego Simeone berpendapat kalau laga kali ini akan berlangsung sengit dan berimbang dari awal. Tapi ia yakin anak-anak asuhannya akan mampu membalas kekalahan di final dua tahun silam.

"Real Madrid tidak banyak berubah (sejak 2014). Sedang kami telah banyak melakukan perubahan, meski masih dengan skema permainan yang sama. Saya senang telah membuat sejarah untuk klub. Namun  hanya kemenangan yang akan memuaskan saya."

Apakah Los Rojiblancos mampu menebus kekalahan dua tahun silam tersebut? Jika menilik rekor pertemuan kedua tim di Liga Spanyol musim ini, Atletico sedikit lebih unggul. Mereka memetik satu kemenangan 1-0 kala bertandang ke markas Real Madrid dan bermain imbang 1-1 ketika bertindak sebagai tuan rumah.

Namun jangan pernah samakan Liga Spanyol dengan Liga Champion. Real Madrid adalah raja di kompetisi Eropa. Meraih 10 trofi dari 13 final. Sementara Atletico dari tiga kali kesempatan manggung di final, selalu berakhir dengan kekalahan!

Statistik Real Madrid musim ini di Liga Champion juga lebih baik dari rivalnya tersebut. Ronaldo cs meraih sembilan kemenangan, dua kali imbang, dan sekali kalah. Mereka mencetak 26 gol dan hanya menderita lima kebobolan. Ronaldo memimpin perolehan gol dengan 16 kali menggetarkan jala lawan. Di pihak seberang, Atletico mengemas enam kemenangan, tiga kali imbang, dan tiga kali kalah. Griezmann cs mencetak 16 gol dan 7 kali kebobolan. Meski begitu, jika ditilik siapa lawan-lawaa kedua tim di babak knock out, banyak yang bilang Atletico lebih baik dari Real Madrid. Berturut-turut mereka menyingkirkan PSV Eindhoven, Barcelona, dan Bayern Munchen. Sementara Madrid setelah menang mudah atas AS Roma, mereka nyaris tersingkir dari wakil Jerman, Wolfsburg, dan menang dengan agregat tipis 1-0 dari Manchester City.

Skema Permainan

Zinedine Zidane akan kembali memakai formasi 4-2-3-1 dengan Karim Benzema sebagai ujung tombak. Penyerang asal Perancis tersebut akan ditemani Ronaldo dan Gareth Bale di posisi sayap. Kecepatan dan pertukaran posisi kedua pemain tersebut jelas bakal menyulitkan barisan pertahanan Los Rojiblancos. Musim ini kombinasi tiga pemain tersebut hanya kalah produktif dari trio Barcelona. Di lini tengah, Casemiro dan Toni Kroos akan menyokong Luka Modric. Kredit plus untuk Casemiro yang dalam beberapa laga terakhir menjadi pemain kunci Real Madrid. Yang bersangkutan juga mendapat perhatian tersendiri dari pelatih Atletico.

Di jantung pertahanan, Pepe dan Ramos akan bahu-membahu menjaga gawang Keylor Navas agar tetap perawan. Kombinasi keduanya sangat kuat musim ini. Di sisi kanan, Dani Carvajal sesekali akan naik membantu serangan. Begitu pula dengan Marcelo di sisi kiri. Kecepatannya akan sangat membantu Bale dan Ronaldo.

Sementara Diego Simeone kemungkinan besar bakal kembali memakai strategi seperti kala menyingkirkan Barcelona dan Bayern Munchen. Pola 4-4-1-1 akan kembali menjadi andalan. Mereka akan menumpuk pemain di tengah. Koke dan Gabi akan menjadi pemutus serangan. Sementara di lini depan hanya menyisakan Antoine Griezmann yang bakal menjadi penyuplai bola untuk Fernando Torres. Nama terakhir dikenal sebagai pemain spesialis partai final. Beberapa kali Torres mencetak gol di partai final. Pengalamannya ketika membawa Chelsea menjadi juara Liga Champion tahun 2012 juga diharapkan bakal memberi pengaruh untuk tim.

Melihat data-data di atas, sepertinya Real Madrid akan mendominasi permainan. Seperti biasa Atletico bakal mengandalkan serangan balik dengan memanfaatkan kecepatan Griezmann dan Torres. Peluang kedua tim sama besar. Besar kemungkinan laga akan diteruskan lewat ababk perpanjangan waktu atau bahkan drama adu penalti.

Namun, siapapun pemenangnya, mengutip kata Zinedine Zidane, "Losing will not be a failure. It's just a football game."

NB: Saya pribadi menjagokan Atletico akan keluar sebagai juara baru. Mereka unggul dengan skor 2-1 di babak perpanjangan waktu.

Minggu, 22 Mei 2016

When You're As Great As I am, It's Hard to be Humble

Ali ketika meng-KO Sonny Liston tahun 1964
Judul di atas adalah jargon yang diucapkan Cassius Marcellus Clay Jr. Mungkin tak banyak yang kenal siapa Cassius Marcellus Clay Jr. itu. Namun jika disebut nama Muhammad Ali, maka hampir semua orang mengenalnya. Ya, itulah nama asli Muhammad Ali sebelum memeluk Islam. Siapa yang tak kenal Ali? Dia adalah juara tinju kelas berat sebanyak tiga kali. Ali juga dinobatkan sebagai atlet terbaik abad ke-20 oleh majalah Sports Illustrated dan BBC, mengalahkan Pele dan Maradona.

Karir Ali melesat setelah meraih emas di Olimpiade Roma tahun 1960. Empat tahun kemudian, petinju kelahiran 17 Januari 1942 itu berhasil menjadi petinju termuda yang merebut gelar juara dunia kelas berat pada usia 22 tahun. Hampir semua petinju terbaik di masanya berhasil ia kalahkan.

Meski begitu, Ali adalah sosok penuh kontroversial. Ia dicintai sekaligus dibenci karena mulut besarnya. Terkenal sombong, arogan, angkuh, dan blak-blakan. Yang paling diingat orang tentu saja ketika ia menolak untuk mengikuti wajib militer waktu perang Vietnam.

"Saya tak punya masalah dengan orang-orang Vietkong ini. Tak ada orang Vietkong yang memanggil saya 'Nigger'. Kenapa saya harus terbang 10.000 mil untuk membunuh mereka?" kata Ali.

Akibatnya gelar juara Ali dicopot. Ia dikenai sanksi dilarang bertinju selama hampir empat tahun. Pengaruh Ali bukan hanya di atas ring, tapi di luar arena juga. Ia menjadi ikon perdamaian. Diidolai banyak orang. Ke mana pun pergi, namanya selalu dielu-elukan.

Ketika kembali lagi ke arena tinju tahun 1971, Ali berhasil menjadi juara dunia lagi tahun 1974 dan 1978. Hampir di setiap wawancara sebelum atau pun usai mengalahkan lawan-lawannya, Ali kerapkali menyebut dirinya sebagai "the greatest".

Mungkin memang benar apa yang diucapkan Ali. Ketika kita sehebat dia, bisa jadi memang sangat sulit untuk menjadi rendah hati. Kita, manusia cenderung tidak suka jika melihat orang lain angkuh/sombong, entah karena kekayaan, kecerdasan, kesuksesan, ataupun karena jabatannya. Padahal jika kita berada di tempat mereka, bisa jadi kita juga tak beda jauh. Sebab kecenderungan manusia itu senang dipuji. Senang menjadi pusat perhatian. Tak jarang kita bahkan mendoakan yang jelek jika melihat kesombongan orang lain. Saya khawatir, sebenarnya kita bukan membenci kesombongan tersebut, melainkan dengki dengan apa yang orang lain miliki.

Lalu, jika kita diberikan sesuatu seperti yang orang lain punya, entah kekayaan, kesuksesan, maupun jabatan, apakah kita akan tetap rendah hati? Sungguh ini cobaan yang berat. Banyak orang tetap bisa bersabar tatkala diuji dengan kemiskinan, kesusahan, atau kehilangan. Namun, tak kalah banyak pula yang tak lulus ketika Allah menguji kita dengan ketenaran, kesuksesan, kekayaan, dan sebagainya.

Allah berfirman:

"... sungguh akan Kami uji (iman) kalian dengan kesusahan dan (dengan) kesenangan. Dan hanya kepada Kamilah kalian akan dikembalikan." (QS. Al Anbiya: 35)

"Karunia ini merupakan pemberian Rabbku untuk menguji imanku, apakah aku bersyukur atau aku kufur. Siapa bersyukur maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri, sedang siapa kufur, sesungguhnya Rabbku Maha Kaya lagi Maha Mulia." (QS. An Naml: 40)

Kembali lagi ke Muhammad Ali. Menjelang pensiun, Ali didiagnosa menderita penyakit Parkinson. Menurut para dokter, penyakit yang berhubungan dengan saraf otak tersebut terjadi akibat akumulasi pukulan yang diterima Ali selama bertanding di atas ring. Sebagai catatan, selama berkarir sebagai petinju, Ali kerapkali menerima pukulan lawannya tanpa menghindar. Ia percaya ia mampu mengatasi semua pukulan lawannya.

Ali di usia senjanya. Bertarung melawan Parkinson.


Namun, Ali punya pemikiran lain. Ia berkata, "Dulu saya selalu mengatakan kalau saya adalah the greatest, yang terbaik. Padahal Allah lah yang terbaik. Allah Maha Besar. Dan ini (penyakit Parkinson) adalah hukuman dari Allah untuk saya."

Lalu, jika suatu saat ujian seperti itu menyapa kita, apakah kita sanggup melewatinya? Memang berat. Sudah pasti berat. Itulah kenapa banyak orang yang tak lulus. Banyak yang tergelincir. Namun jika kita yakin bahwasanya segala sesuatu yang ada di bumi dan di langit, juga di antara keduanya hanyalah milik Allah, insyaa Allah ujian seperti apapun bisa kita lewati. Dengan keyakinan bahwa apa yang kita miliki adalah amanah, titipan dari Allah yang harus kita jaga sebaik mungkin. Tentunya dengan pertolongan Allah juga.

Maka, kembali lagi ke diri kita. Akankah kita memilih menjadi makhluk yang bersyukur ataukah yang kufur?

Kamis, 28 April 2016

Leicester Siap Mengukir Sejarah

Leicester City ketika menjuarai Divisi Championship musim 2013/2014.

Sejarah baru bisa saja terjadi akhir pekan ini di Liga Premier Inggris. Leicester City yang musim lalu finish di peringkat ke-14 akan memenangi liga untuk pertama kalinya sejak berdiri tahun 1884. Keunggulan tujuh poin atas rival terdekat, Tottenham Hotspur, dengan tiga laga tersisa membuat The Foxes-julukan Leicester-hanya membutuhkan satu kemenangan lagi untuk meraih titel.

Tapi target kemenangan tersebut bukan pekerjaan mudah. Pasalnya Riyad Mahrez cs akan menghadapi ujian berat kala bertandang ke Old Trafford , markas Manchester United pada Minggu (1/5). Setan Merah yang meskipun musim ini gagal bersaing memperebutkan titel, punya pertahanan yang sukar ditembus. Hingga pekan ke-35 gawang David de Gea baru kebobolan 30 gol. Terbaik kedua setelah Tottenham yang kemasukan 26 gol. Sementara pertahanan Leicester sendiri tepat satu tingkat di bawah United dengan jumlah kebobolan 33 gol.

Kedua tim juga sama-sama sedang on fire. Dari lima laga sebelumnya di semua kompetisi, MU berhasil meraih empat kemenangan dan hanya sekali kalah. Satu dari empat kemenangan itu termasuk kemenangan kontra Everton 2-1 untuk memastikan diri lolos ke partai puncak Piala FA. Sementara Leicester juga tak kalah prima. Dari lima laga sebelumnya, tim asuhan Claudio Ranieri mengantongi empat kemenangan dan sekali imbang.

Sebagai catatan, musim ini Manchester United punya rekor kandang yang cukup bagus. Meski tak bisa dibilang sempurna. Dari 17 laga, mereka mengantongi 11 kemenangan, 4 kali imbang, dan sepasang kekalahan. Masing-masing kekalahan tersebut diderita kala menjamu Norwich City dan Southampton. Nah, celah inilah yang harus dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh kubu tamu.

Sayangnya Leicester masih harus tampil tanpa Jamie Vardy. Pencetak gol tunggal di pertemuan pertama kontra Manchester United yang berakhir 1-1 tersebut masih terkena sanksi dua laga akibat perilaku tak sportifnya kala diusir wasit ketika ditahan imbang West Ham. Meski pekan kemarin The Foxes tetap mampu meraih hasil impresif kala menghajar Swansea 4-0, tetap saja kehadiran Vardy dibutuhkan. Kecepatan dan pergerakannya yang eksplosif akan sangat merepotkan pertahanan MU yang terkenal solid. Tanpa dia praktis Claudio Ranieri, sang pelatih, akan kembali mengandalkan kelihaian Riyad Mahrez mendikte permainan di lini tengah. Kebetulan nama yang bersangkutan baru saja meraih penghargaan pemain terbaik Liga Inggris versi Asosiasi Pesepakbola Profesional di Inggris. Bisa jadi partai ini akan menjadi ajang pembuktian bagi Mahrez kalau penghargaan tersebut memang layak diterimanya.

Di kubu lawan, tuan rumah siap tampil dengan kekuatan penuh. MU hanya kehilangan Bastian Schweinsteiger (pencetak gol di pertemuan pertama) yang masih cedera. Namun absennya Schweini tak banyak berpengaruh. Mereka yakin akan meraih kemenangan atas Leicester. Dalam dua laga terakhir menjamu Leicester, MU meraih hasil maksimal. Dua kali kemenangan dengan skor 3-1 dan 1-0. Melihat data-data statistik di atas, rasanya hasil imbang cukup adil untuk kedua tim.

Nah, jika laga antara MU vs Leicester berakhir imbang, Leicester masih berpeluang menjadi juara pekan ini. Dengan catatan Tottenham yang akan bertandang ke kandang Chelsea pada Selasa (3/5) juga gagal memetik kemenangan. Melihat rekor pertemuan kedua tim, Chelsea berada di atas angin. Meski mereka kini terdampar di posisi ke-9 klasemen sementara, The Blues bukanlah tim kacangan yang mudah dikalahkan. Apalagi di tiga laga terakhir kala melawat ke Stamford Bridge, kandang Chelsea, Tottenham selalu menelan kekalahan dengan kebobolan sembilan gol tanpa sekalipun berhasil merobek gawang lawannya itu.

Jika skenario di atas berjalan mulus, Leicester City akan menjadi juara Liga Inggris untuk pertama kalinya dalam kurun 132 tahun sepanjang sejarah berdirinya klub tersebut. Pencapaian yang luar biasa dan akan dikenang selalu. Bagaimana tidak, musim lalu Riyad Mahrez cs nyaris terdegradasi. Bahkan musim 2013/2014 mereka masih berlaga di Divisi Chamiponship, kasta kedua kompetisi sepak bola di Inggris.

Jadi bersiaplah menjadi saksi terukirnya sejarah baru di Liga Inggris, kompetisi sepak bola paling elite di dunia saat ini.

Selasa, 26 April 2016

Pentingnya Rendah Hati

"Kesombongan selalu mendahului kehancuran."

Pepatah lama itu memang benar adanya. Maka kerendah-hatian sangat penting. Di semua aspek kehidupan. Tak terkecuali di dunia tulis-menulis.

Sepanjang pagi hingga detik ini mata saya benar-benar dibuat terbuka lebar, kesadaran saya serasa ditampar, hingga hati merasa nanar.

"Kita ini nothing. Benar, kita cuma sebatas penulis Facebook. Belum jadi apa-apa," kata saya.

"No, you're my everything," balas Nawan. Saya tahu istri saya yang cantik itu sedang menghibur. Selang satu detik kemudian dia memeluk saya.

"Yes, absolutely. Tapi yang aku maksud di sini kita ini bukan siapa-siapa di dunia menulis. Mungkin kita terlalu nyaman di grup itu." Aku menyebut salah satu grup kepenulisan di mana kami belajar.

"Terlalu cepat puas, mungkin lebih tepatnya. Kita terlalu cepat puas dengan puja-puji teman-teman sendiri." Nawan menyatakan pendapatnya.

Memang benar. Selama ini kita terlalu jumawa, terlalu percaya diri akan pencapaian yang belum seberapa, namun sudah begitu keras menepuk dada. Kita terlalu pongah dan angkuh untuk mau membuka mata dan belajar. Kita juga terlalu mudah tersulut jika ada orang lain yang menghina kita, menyebut karya kita sampah. Padahal bisa jadi justru itu yang sebenarnya kita butuhkan. Bukan puja-puji semua yang pada akhirnya malah menjerumuskan kita ke dalam keangkuhan. Menjadi keras kepala, lalu tak mau lagi belajar dari orang lain yang lebih dulu berhasil. Menjadi batu.

Kata seorang teman, orang yang rendah hati akan selalu membuka hatinya untuk belajar. Ia akan mengosongkan dirinya agar siap menerima ilmu dari siapa pun. Itulah kenapa orang yang rendah hati akan lebih siap untuk melesat, untuk terbang, karena hatinya ringan. Berbeda dengan mereka yang hatinya angkuh, penuh beban. Maka terasa berat baginya untuk naik ke jenjang yang lebih tinggi. Ia akan senantiasa berkutat di zona tersebut.

Padahal jika kita sukses, itu bukan karena kegigihan kita. Jika kita kaya, bukan karena kepandaian kita. Semua tak lebih hanya karena Allah semata. Maka, jangan sekali-kali menepuk dada, sebab kita sendiri yang merasakan sakitnya.

Satu lagi pepatah lama yang masih berlaku, "Semakin berisi, padi akan semakin menunduk."


Senin, 25 April 2016

Riyad Mahrez, From Zero To Hero

Riyad Mahrez berpose dengan trofi PFA Award.

Sekitar dua tahun lalu, tepatnya 11 januari 2014 ketika Riyad Mahrez menandatangani kontrak 3,5 tahun dengan Leicester City tak banyak media yang meliput. Transfer senilai 400.000 poundsterling dari Le Havre, klub divisi 2 Liga Perancis hanyalah transfer biasa dari ratusan ransaksi jual beli pemain di Eropa waktu itu.

Tapi lihat sekarang. Dua tahun setelah itu Mahrez didaulat menjadi pemain terbaik Liga Inggris versi asosiasi pemain sepak bola profesional di Inggris. Pemain Aljazair itu berhasil menyisihkan nama-nama besar yang lebih dulu mapan di liga yang disebut-sebut paling elite sejagat raya tersebut. Rasanya saya tak perlu menyebut satu per satu siapa saja deretan pemain bintang yang berlaga di Liga Premier Inggris. Di ajang PFA Award sendiri Mahrez berhasil mengungguli dua pemuncak top skorer sementara, Harry Kane dan Jamie Vardy yang notabene rekan setimnya sendiri.

Dengan prestasi tersebut, pemain kelahiran 21 Februari 1991 tersebut menjadi pemain Afrika pertama yang memenangi PFA Award. Sebelum Mahrez, beberapa nama besar yang pernah memenanginya antara lain Steven Gerrard, John Terry, Gareth Bale, Luiz Suarez, Robin van Persie, dan Eden Hazard. Mahrez juga menjadi pemain termurah yang memenangi PFA Award di era Premier League dalam kurun 25 tahun. Dengan banderol hanya 400.00 poundsterling, harga Mahrez jelas bukan apa-apa dibanding Eden Hazard yang memenangi PFA Award musim lalu yang mencapai 32 juta poundsterling. Luiz Suarez yang memenangi PFA Award tahun 2014 bernilai 22,8 juta poundsterling ketika dibeli Liverpool. Memang ada satu nama yang juga memenangi PFA Award (tahun 1993) dengan banderol sama seperti Mahrez yaitu Paul McGrath. Pemain Irlandia tersebut dibeli Aston Villa dari Manchester United tahun 1989. Tapi jika melihat kondisi ekonomi dan inflasi, nilai 400.00 tersebut jelas berbeda dengan sekarang.

Merangkak Dari Nol

Mungkin momen paling penting yang mengubah jalan hidup Riyad Mahrez terjadi ketika dia berusia 15 tahun. Sang ayah sekaligus pelatihnya meninggal dunia karena serangan jantung. "Aku tak tahu apakah aku berubah menjadi serius. Tapi setelah kematian ayahku, itu terjadi begitu saja pada diriku. Mungkin aku hanya ingin menjadi lebih baik," kata Mahrez.

Mahrez memulai karir juniornya dengan bergabung di klub AAS Sarcelles pada tahun 2004. Tahun 2009 dia bergabung dengan Quimper. Melakoni 22 laga dengan mencetak 2 gol di musim pertamanya. Karena penampilannya yang impresif, dua raksasa Perancis, PSG dan Marseille tertarik untuk merekrut Mahrez. Tapi sang pemain justru bergabung dengan klub antah-berantah dari divisi 2 Liga Perancis, Le Havre.

Mahrez menghabiskan tiga setengah tahun di Le Havre. Merangkak dari mulai bermain di tim Le Havre 2 hingga menjadi pemain inti di tim utama. Selama di tim utama tersebut, pemain bertinggi badan 179 cm itu bermain sebanyak 60 kali dan mencetak 6 gol di Ligue 2 (kompetisi kasta kedua di Perancis).

Lalu lompatan kuantum itu datang ketika Leicester City yang kala itu masih berlaga di divisi Championship (kompetisi nomor dua di Inggris) membeli Riyad Mahrez dengan mahar 400.000 poundsterling. Meski keluarga dan teman-temannya berpendapat kalau ia lebih cocok bermain di Liga Spanyol. Mahrez membuktikan kualitasnya. Mahrez berhasil membawa Leicester menjuarai kompetisi dan untuk pertama kalinya dalam satu dekade, The Foxes kembali ke Liga Premier.

Musim 2014/2015 adalah musim yang sangat sulit untuk Leicester. Hingga pekan ke-29, Mahrez cs masih berkutat di dasar klasemen dengan hanya mengumpulkan 19 poin. Namun di sembilan laga sisa, Leicester bangkit. Menuai tujuh kemenangan, sekali imbang, dan sekali kalah. The Foxes lolos dari lubang jarum. Berhasil mengakhiri kompetisi di posisi ke-14. Di musim penuh pertamanya, Mahrez bermain sebanyak 30 kali, mencetak empat gol dan tiga assist.

Pergantian pelatih dari Nigel Pearson ke tangan Claudio Ranieri awal musim 2015/2016 seolah membawa perubahan signifikan. Baik bagi Leicester maupun bagi Mahrez. Hingga pekan ke-35 Liga Premier, klub yang bermarkas di King Power Stadium tersebut masih memuncaki klasemen sementara dengan 76 poin. Unggul 8 poin atas rival terdekat mereka, Tottenham Hotspur. Hal ini tak bisa lepas dari penampilan impresif dan konsisten yang ditunjukkan Mahrez di atas lapangan. Dari 34 laga yang sudah dilakoninya musim ini, ia behasil mencetak 17 gol dan 11 assist. Jauh melampaui pencapaian musim lalu. Maka tak heran jika Mahrez dipilih para pemain profesional di Liga Inggris menjadi pemain terbaik.

Tapi pencapaian di atas baru akan sempurna jika Leicester City berhasil mengakhiri musim dengan menjadi kampiun.

Congrats, Mahrez!

Sabtu, 23 April 2016

MU ke Final FA Cup Usai Laga Dramatis

Manchester United melangkah ke final Piala FA usai mengalahkan Everton.
Manchester United secara dramatis merebut satu tiket final Piala FA usai mengkandaskan perlawanan Everton dengan skor 1-2.

Setan Merah unggul terlebih dahulu lewat gol Fellaini di menit ke-34. The Toffees baru bisa menyamakan kedudukan pada menit ke-75 lewat gol bunuh diri Chris Smalling. Beruntung Manchester United punya Anthony Martial. Pemain asal Perancis tersebut menyegel kemenangan lewat golnya di menit ke-93. Di final, Manchester United akan bertemu pemenang laga antara Crystal Palace vs Watford yang baru akan bertanding Minggu (24/4) malam nanti.

Ini adalah final pertama Manchester United sejak terakhir kali mencapai final kompetisi sepak bola paling tua di dunia tersebut pada musim 2006/2007.

Jumat, 22 April 2016

Dongeng Indah Leicester City

Ketika Liga Premier Inggris musim 2015/2016 mulai bergulir Agustus kemarin, hampir dipastikan tak ada satu orang pun yang berani memprediksi Leicester City bakal menjuarai kompetisi. Bahkan fans The Foxes-julukan Leicester-sekalipun mungkin tak pernah membayangkan klub kesayangannya bisa bersaing melawan dominasi klub-klub mapan seperti MU, Chelsea, Manchester City, atau Arsenal. Wajar saja. Sebab jika ditilik dari segi apapun, tim yang bermarkas di King Power Stadium tersebut kalah segala-galanya. Namun siapa sangka, sampai pekan ke-34 liga bergulir, Leicester berhasil mengangkangi klub-klub mapan di atas. Empat pertandingan tersisa dan mereka masih memimpin klasemen dengan selisih lima poin dari peringkat kedua, Tottenham Hotspur.

Kembali ke belakang, Leicester baru kembali ke kasta tertinggi sepak bola Inggris musim 2014/2015 setelah menghabiskan satu dekade berkutat di Divisi Championship (kompetisi kedua tertinggi setelah Liga Premier). Musim 2013/2014 mereka berhasil menjuarai kompetisi kelas dua tersebut sehingga berhak promosi ke Liga Premier. Tapi di musim perdana setelah promosi, Leicester hampir terdegradasi kembali ke Divisi Championship. Beruntung mereka berhasil finish di peringkat ke-14 di akhir musim. Meski begitu pihak manajemen akhirnya memecat Nigel Pearson di akhir musim. Pelatih asal Italia, Claudio Ranieri didatangkan untuk menahkodai klub. Lalu dongeng indah itu pun dimulai.

Leicester melakoni partai perdana dengan menggebuk Sunderland 4-2. Lima pekan berikutnya mereka tampil konsisten dengan memetik dua kemenangan dan tiga hasil imbang. Kekalahan baru mereka alami di pekan ke-7, menyerah 2-5 dari Arsenal. Tapi di 12 pertandingan berikutnya setelah itu mereka bangkit. Memetik delapan kemenangan, tiga hasil imbang, dan hanya sekali takluk. Juara bertahan Chelsea mereka hajar 2-1, Everton dipecundangi 2-3 di markas mereka yang terkenal angker, Swansea dan Newcastle sama-sama dicukur 0-3, juga di markas masing-masing. Sementara peraih titel EPL terbanyak, MU, mereka tahan 1-1. Paruh pertama kompetisi berhasil mereka tutup dengan hasil di luar dugaan, 11 kemenangan, 6 imbang, dan sepasang kekalahan.

Paruh kedua kompetisi lebih fenomenal lagi. Dari 15 laga yang sudah dilakoni, mereka meraih 10 kemenangan, 4 kali imbang, dan hanya sekali kalah dari Arsenal. Klub-klub kuat seperti Tottenham, Liverpool, dan Manchester City mereka kalahkan. Hingga pekan ke-34, Jamie Vardy cs berhasil memuncaki klasemen dengan 73 poin.

Kolektivitas, Itu Kuncinya

Jika melihat skuad Leicester, rasanya sukar dipercaya mereka bisa sampai sejauh ini. Hampir tak ada pemain bintang di sana. Semuanya pemain kelas dua. Tapi lihat sekarang. Mereka adalah contoh nyata sebuah anomali. Ketika klub-klub kaya raya berlomba menumpuk para pemain terbaik untuk meraih titel, mereka hanya mengandalkan kolektivitas tim dan daya juang.

Mungkin dua atau tiga tahun yang lalu tak ada yang mengenal sosok Jamie Vardy, Riyad Mahrez, atau N'Golo Kante. Dibanding bintang sekelas Aguero, Rooney, Eden Hazard, atau Alexis Sanchez, para pemain Leicester jelas bukan siapa-siapa. Namun justru itu yang menjadi kunci keberhasilan mereka. Tak ada pemain bintang. Semua punya peluang sama untuk berkontribusi bagi tim. Ini menjadi keuntungan tersendiri. Tak ada konflik antar pemain.

Bandingkan situasi tersebut dengan konflik yang dialami juara bertahan Chelsea. Diego Costa berkali-kali terlibat konflik dengan rekan setimnya sendiri. Di MU, bintang andalan Memphis Depay berulah dengan kehidupan glamornya. Jelas hal-hal seperti ini mempengaruhi performa di atas lapangan.

Faktor Ranieri

Selama berkiprah bersama Chelsea, Fiorentina, Juventus, Valencia, Atletico, Roma, Napoli sampai Inter Milan, belum pernah sekalipun Ranieri meraih titel juara liga. The Tinkerman hanya pernah menjuarai Coppa Italia tahun 1996 bersama Fiorentina dan Copa Del Rey Spanyol ketika menangani Valencia.

Pengalamannya yang panjang bersama klub-klub tersebut jelas sangat berperan bagi klubnya saat ini. Di usianya yang sudah memasuki angka 64, mungkin ini peluang terbaiknya untuk menjuarai liga. Musim mendatang pasti bakal lebih sulit karena tim-tim kaya akan berusaha habis-habisan menebus kegagalan musim ini.

Jika Ranieri bisa membuat Leicester terus memimpin liga sampai akhir musim, maka dia akan mengikuti Brian Clough yang berhasil membawa Nottingham Forrest juara tahun 1978 dan Kenny Dalglish tatkala secara mengejutkan memimpin Blackburn Rovers merebut trofi tahun 1995. Seandainya pun nanti Leicester gagal megakhiri musim dengan menjadi juara, paling tidak mereka sudah mengunci satu tiket untuk lolos ke Liga Champion Eropa musim depan.

"Bayangkan ketika Messi, Ronaldo, Iniesta, dan pemain-pemain terbaik dunia memasuki King Power Stadium. Sesuatu yang sangat menakjubkan bagi fans kami," kata Ranieri.

Ya, itu adalah dongeng yang sangat indah bagi para fans Leicester City. Juga bagi para penikmat sepak bola di seluruh dunia. Bahwa uang tidak selalu bisa membeli segalanya. Bahwa orang-orang biasa bisa tampil menjadi pahlawan. Dongeng yang segera menjadi kenyataan.